<$BlogRSDUrl$>

Curhat - Opini - Referensi - Tips - Trik - Reportase - Artikel - Diskusi - Everything But Politic !

Tuesday, October 21, 2003

Ciri Pekerja di Tahun 2000an

1. Kamu pernah gak sengaja nyari tombol escape di mesin atm, kalo salah masukin PIN
2. Kamu sudah bertahun-tahun gak main solitaire pake kartu beneran
3. Kamu punya 15 daftar nomor telpon untuk 3 nama
4. Kamu meng-email teman kamu yang duduk disamping mejamu
5. Alasan kamu saat berhenti berhubungan dengan teman-temanmu adalah "Dia tidak punya alamat email"
6. Kamu tahu berita terakhir dari milis
7. Saat menelpon dari rumah, kamu gak sengaja mencet "0" untuk mendapatkan line
8. Saat menerima telpon dirumah kamu menerimanya dengan nada seperti di kantor "Microsoft Indonesia selamat malam...." :D
10. Kamu sudah duduk dimeja yang sama selama lebih dari 2 tahun dan bekerja untuk 3 perusahaan berbeda (mroyek diluar emang oke :P)
11. Kamu ngerasa pernah ngedenger berita yang sama saat nonton buletin malam
12. Boss kamu tidak punya kemampuan untuk melakukan pekerjaan mu
13. Jumlah karyawan kontrak dikantormu melebihi jumlah karyawan tetap,dan umumnya mereka bekerja dengan kontrak yang berulang-ulang diperpanjang
14. Ngerasa gak pede kalau gak bawa charger handphone
15. Saat kamu membaca daftar ini, kamu sambil senyum-senyum dan manggut-manggut
16. Saat membaca email ini, kamu sudah berpikir untuk memforward email ini ke teman-teman mu
17. Kamu memperoleh email ini dari teman kamu yang sudah bertahun-tahun tidak bertemu, tidak ngobrol ditelpon. Selama ini hanya berhubungan lewat milis dan kirim-kiriman jokes jayus...
18. Saking cepet-cepetnya kamu baca email ini (karena sibuk), kamu gak sadar kalo gak ada nomor 9 di daftar ini.
19. Dan yang lebih kocaknya lagi, kamu scroll keatas untuk memastikan kalo nomor 9 bener-bener gak ada
20. Bener gak ?? bener gak ??

Monday, October 13, 2003

Senin, 13 Oktober 2003
Strategi Memerangi Korupsi
Oleh : Revrisond Baswir

Korupsi dapat diibaratkan sebagai penyakit menular yang memiliki dampak sangat buruk terhadap kondisi sosial dan ekonomi masyarakat. Dampak buruk yang terkandung dalam perbuatan yang dapat didefinisikan sebagai segala bentuk penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan dengan tujuan untuk memperkaya diri atau kalangan sendiri--yang sangat dirahasiakan terhadap pihak-pihak lain di luar kalangan sendiri itu, dalam garis besarnya adalah sebagai berikut:

Pertama, buruknya efisiensi organisasi dan efisiensi perekonomian yang berdampak pada merosotnya daya saing. Kedua, buruknya distribusi sumber daya nasional dalam segala bentuknya yang berakibat pada mencoloknya kesenjangan sosial. Ketiga, buruknya insentif untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan produktif karena terdorong untuk mencari jalan pintas. Dan keempat, buruknya hubungan antara pemerintah dan masyarakat yang berakibat pada meluasnya sikap apatis atau meningkatnya instabilitas politik.

Walaupun korupsi memiliki dampak yang sangat serius terhadap perkembangan kondisi sosial-ekonomi masyarakat, sebagaimana terbukti selama ini, membasmi korupsi bukanlah pekerjaan mudah. Pada satu sisi, upaya membasmi korupsi tidak dapat dilakukan secara cuma-cuma. Sama halnya dengan tindakan korupsi yang menyebabkan timbulnya biaya sosial dan ekonomi yang sangat mahal, upaya membasmi korupsi juga membutuhkan biaya operasi yang tidak sedikit. Sebab itu, upaya membasmi korupsi harus dilakukan secara rasional. Artinya, biaya operasi membasmi korupsi tidak boleh lebih mahal daripada biaya sosial dan ekonomi yang ditimbulkannya.

Di pihak lain, korupsi bukanlah sesuatu yang homogen. Ia sangat banyak jenis dan ragamnya. Dalam garis besarnya, korupsi pada suatu instansi pemerintah dapat dibedakan atas korupsi internal dan korupsi eksternal. Korupsi internal adalah korupsi yang dilakukan secara internal oleh aparatur suatu instansi pemerintah tertentu sehubungan dengan kekayaan negara yang berada di bawah penguasaan instansi yang bersangkutan. Sedangkan korupsi eksternal, yang dikenal pula sebagai korupsi sisi penawaran (supply side corruption), adalah korupsi yang berkaitan dengan pemberian suap atau komisi, oleh pihak lain dari luar instansi yang bersangkutan. Korupsi jenis kedua ini biasanya berkaitan dengan kegiatan pelayanan barang dan jasa yang dilakukan oleh suatu instansi pemerintah tertentu terhadap masyarakat.

Korupsi dapat dikelompokkan dengan mudah, namun karena jenis dan lingkup kegiatan yang dilakukan oleh berbagai instansi pemerintah berbeda satu sama lain, jenis korupsi yang berlangsung pada berbagai instansi pemerintah, secara operasional, cenderung beragam. Sebab itu, upaya membasmi korupsi harus mampu mengklasifikasikan secara cermat kategori korupsi berdasarkan dampak biaya sosial-ekonominya. Upaya membasmi korupsi pada setiap instansi pemerintah harus dilakukan dengan prioritas yang jelas.

Dengan mengemukakan beberapa catatan tersebut, tentu itu tidak berarti bahwa korupsi sama sekali tidak dapat dikurangi. Yang diperlukan adalah adanya strategi yang efektif, yang tidak hanya dapat mencegah berlanjutnya korupsi, tetapi sekaligus dapat mengubah perilaku aparat birokrasi dari pro-korupsi menjadi insan terpercaya (amanah). Artinya, upaya membasmi korupsi tidak dapat dilakukan hanya dengan memusuhi korupsi sebagai sesuatu yang jahat, tetapi harus dilakukan secara bersamaan dengan mengembangkan tatanan kelembagaan yang mendorong berkembangnya sikap amanah sebagai sesuatu yang baik.

Bertolak dari pengalaman pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh Direktorat Perpajakan di Filipina, Robert Klitgaard (1998) menawarkan tiga hal berikut sebagai komponen utama strategi penanggulangan korupsi yang efektif: Pertama, penetapan sebuah sistem evaluasi kinerja yang baru. Kedua, pengumpulan informasi sebanyak-banyaknya tentang korupsi. Dan ketiga, menghukum dengan segera pejabat tinggi yang korup.

Tujuan utama penetapan sistem evaluasi kinerja baru dalam sebuah institusi pemerintah adalah untuk menumbuhkan orientasi positif dalam melakukan pekerjaan, yaitu sebagai lawan dari ketidakjelasan orientasi yang menyebabkan tumbuh suburnya korupsi. Sebagaimana dikemukakan Klitgaard, merajalelanya korupsi seringkali tidak dapat dipisahkan dari ketidakjelasan orientasi dalam melakukan suatu pekerjaan. Agar pelaksanaan suatu pekerjaan memiliki orientasi positif, pemberian insentif dalam melaksanakan pekerjaan harus secara tegas dikaitkan dengan pencapaian tingkat prestasi kerja tertentu.

Tujuan pengumpulan informasi mengenai korupsi pada suatu instansi pemerintah tertentu tidak hanya untuk mengenali jenis-jenis korupsi yang parah pada instansi itu, tetapi sekaligus untuk mencegah berlanjutnya perbuatan tersebut. Ketika para karyawan suatu instansi pemerintah mengetahui bahwa praktik korupsi yang biasa mereka lakukan mulai memiliki risiko untuk diketahui, perbuatan itu biasanya cenderung berkurang. Untuk mendukung tindakan ini, perlu dibentuk sebuah tim yang benar-benar dapat dipercaya.

Adapun tujuan pemberian hukuman bagi para pejabat tinggi yang korup adalah untuk memberi contoh kepada aparat yang lebih rendah bahwa korupsi benar-benar akan diperangi. Penanggulangan korupsi yang dimulai dari bawah akan menyebabkan bertahannya korupsi di tingkat yang lebih tinggi. Padahal, selama korupsi di tingkat yang lebih tinggi masih terus berlangsung, selama itu pula korupsi di tingkat yang lebih rendah akan kambuh kembali.

Pertanyaannya, siapakah yang akan melaksanakan strategi penanggulangan korupsi tersebut? Walaupun dalam ketiga komponen strategi penanggulangan korupsi tadi tidak dikemukakan secara eksplisit siapa yang akan melaksanakannya, secara implisit tanggung jawab itu jelas dipikul oleh pemerintah, khususnya kepala negara, yang memiliki tekad untuk membasmi korupsi. Artinya, prasyarat utama upaya membasmi korupsi adalah adanya komitmen kepala negara dan para menteri di sekitarnya untuk memerangi korupsi. Tanpa komitmen pemerintah, strategi penanggulangan korupsi seperti apa pun tidak akan pernah efektif.

Sebab itu, upaya membasmi korupsi menuntut dilakukannya pembentukan pemerintahan yang benar-benar memiliki komitmen untuk memerangi korupsi. Yang sulit biasanya adalah mencari orang yang benar-benar bertekad untuk melakukan hal itu dan mampu mempertahankan sikap tersebut secara konsisten. Sebagaimana sering terjadi, seseorang yang semula sangat menggebu-gebu ingin membasmi korupsi, seorang kepala negara atau seorang menteri, dalam sekejap dapat berubah sikap, justru setelah diserahi tanggung jawab untuk melakukan hal itu. Selain disebabkan oleh cukup besarnya resistensi terlembaga dari dalam atau luar birokrasi terhadap setiap upaya membasmi korupsi, perubahan sikap itu seringkali dipicu oleh terjadinya pergeseran posisi dan kepentingan.

Persoalan tentu semakin rumit bila sebuah pemerintahan telanjur dikendalikan oleh para alumni dari sebuah rezim yang korup. Sebagai alumni dari sebuah rezim yang korup, para pejabat yang ditugaskan untuk memerangi korupsi cenderung lebih sibuk menutupi berbagai tindakan korupsi yang pernah mereka lakukan daripada membongkarnya. Alih-alih menghukum para pejabat atau mantan pejabat tinggi yang korup, membiasakan diri untuk tidak melakukan korupsi pun sulit mereka lakukan. Mencermati hal tersebut, situasi terakhir inilah tampaknya kini yang sedang dialami Indonesia.

Friday, October 10, 2003



Kekasih biasa vs Kekasih Sejati

Kekasih biasa selalu ingat senyum di wajahmu
Kekasih sejati juga mengingat wajahmu waktu sedih

Kekasih biasa akan membawamu makan makanan yang enak-enak
Kekasih sejati akan mempersiapkan makanan yang kamu suka

Kekasih biasa setiap detik selalu menunggu telpon dari kamu
Kekasih sejati setiap detik selalu teringat ingin menelponmu

Kekasih standart selalu mendoakan mu kebahagiaan
Kekasih sejati selalu berusaha memberimu kebahagiaan

Kekasih biasa mengharapkan kamu berubah demi dia
Kekasih sejati mengharapkan dia bisa berubah untuk kamu

Kekasih biasa paling sebal kamu menelpon waktu dia tidur
Kekasih sejati akan menanyakan kenapa sekarang kamu baru telpon ?

Kekasih biasa akan mencarimu untuk membahas kesulitanmu
Kekasih sejati akan mencarimu untuk memecahkan kesulitanmu

Kekasih biasa selalu bertanya mengapa kamu selalu membuatnya sedih ?
Kekasih sejati akan selalu mananyakan diri sendiri mengapa membuat kamu sedih ?

Kekasih biasa selalu memikirkan penyebab perpisahan
Kekasih sejati memecahkan penyebab perpisahan

Kekasih biasa bisa melihat semua yang telah dia korbankan untukmu
Kekasih sejati bisa melihat semua yang telah kamu korbankan untuknya

Kekasih biasa berpikir bahwa pertengkaran adalah akhir darisegalanya
Kekasih sejati berpikir, jika tidak pernah bertengkar tidak bisa disebut cinta sejati

Kekasih biasa selalu ingin kamu disampingnya menemaninya selamanya
Kekasih sejati selalu berharap selamanya bisa disampingmu menemanimu

Thursday, October 09, 2003

Cerita Panjang

Anda pasti tahu bagaimana rasanya menerima telepon di
tengah malam. Tapi,
malam itu semuanya terasa berbeda. Aku terlonjak dari
tidurku ketika
telepon di samping tempat tidur berdering-dering. Aku
berusaha melihat jam
beker dalam gelap. Cahaya illuminasi dari jam itu
menunjukkan tepat tengah
malam. Dengan panik aku segera mengangkat gagang
telepon.

"Hallo?" dadaku berdegub-degub kencang. Aku memegang
gagang telepon itu
erat-erat. Kini suamiku terbangun dan menatap wajahku
lekat-lekat.

"Mama?" terdengar suara di seberang sana.

Aku masih bisa mendengar bisikannya di tengah-tengah
dengung telepon.
Pikiranku langsung tertuju pada anak gadisku. Ketika
suara itu semakin
jelas, aku meraih dan menarik-narik pergelangan tangan
suamiku.

"Mama, aku tahu ini sudah larut malam. Tapi jangan...
jangan berkata
apa-apa dahulu sampai aku selesai bicara. Dan, sebelum
mama menanyai aku
macam-macam, ya aku mengaku ma. Malam ini aku mabuk.
Beberapa hari ini aku
lari dari rumah, dan..."

Aku tercekat. Nafasku tersenggal-senggal. Aku lepaskan
cengkeraman pada
suamiku dan menekan kepalaku keras-keras. Kantuk masih
mengaburkan
pikiranku. Dan, aku berusaha agar tidak panik. Ada
sesuatu yang tidak
beres.

"...Dan aku takut sekali. Yang ada dalam pikiranku
bagaimana aku telah
melukai hati mama. Aku tak mau mati di sini. Aku ingin
pulang. Aku tahu
tindakanku lari dari rumah adalah salah. Aku tahu mama
benar-benar cemas
dan sedih. Sebenarnya aku bermaksud menelepon mama
beberapa hari yang lalu,
tapi aku takut... takut..."

Ia menangis tersedan-sedan. Sengguknya benar-benar
membuat hatiku iba.
Terbayang aku akan wajah anak gadisku. Pikiranku mulai
jernih, "Begini..."

"Jangan ma, jangan bicara apa-apa. Biarkan aku selesai
bicara." ia meminta.
Ia tampak putus asa.

Aku menahan diri dan berpikir apa yang harus aku
katakan. Sebelum aku
menemukan kata-kata yang tepat, ia melanjutkan, "Aku
hamil ma. Aku tahu tak
semestinya aku mabuk sekarang,tapi aku takut. Aku
sungguh-sungguh takut!"

Tangis itu memecah lagi. Aku menggigit bibirku dan
merasakan pelupuk mataku
mulai basah. Aku melihat pada suamiku yang bertanya
perlahan, "Siapa itu?"

Aku menggeleng-gelengkan kepala. Dan ketika aku tidak
menjawab
pertanyaannya, ia meloncat meninggalkan kamar dan
segera kembali sambil
membawa telepon portable. Ia mengangkat telepon
portable yang tersambung
pararel dengan teleponku. Terdengar bunyi klik.

Lalu suara tangis suara di seberang sana terhenti dan
bertanya, "Mama,
apakah mama masih ada di sana? Jangan tutup teleponnya
ma. Aku benar-benar
membutuhkan mama sekarang. Aku merasa kesepian."

Aku menggenggam erat gagang telepon dan menatap
suamiku, meminta
pertimbangannya. "Mama masih ada di sini. Mama tidak
akan menutup telepon,"
kataku.

"Semestinya aku sudah bilang pada mama. Tapi bila kita
bicara, mama hanya
menyuruhku mendengarkan nasehat mama. Selama ini
mamalah yang selalu
berbicara. Sebenarnya aku ingin bicara pada mama,
tetapi mama tak mau
mendengarkan. Mama tak pernah mau mendengarkan
perasaanku. Mungkin mama
anggap perasaanku tidaklah penting. Atau mungkin mama
pikir mama punya
semua jawaban atas persoalanku. Tapi terkadang aku tak
membutuhkan nasehat
mama. Aku hanya ingin mama mau mendengarkan aku."

Aku menelan ludahku yang tercekat di kerongkongan.
Pandanganku tertuju pada
pamflet "Bagaimana Berbicara Pada Anak Anda" yang
tergeletak di sisi tempat
tidurku.

"Mama mendengarkanmu," aku berbisik.

"Tahukah mama, sekarang aku mulai cemas memikirkan
bayi yang ada di perutku
dan bagaimana aku bisa merawatnya. Aku ingin pulang.
Aku sudah panggil
taxi. Aku mau pulang sekarang."

"Itu baik sayang," kataku sambil menghembuskan nafas
yang meringankan
dadaku. Suamiku duduk mendekat padaku. Ia meremas
jemariku dengan
jemarinya.

"Tapi ma, sebenarnya aku bermaksud pulang dengan
menyetir sendiri mobil
sendiri."

"Jangan," cegahku. Ototku mengencang dan aku
mengeratkan genggaman tangan
suamiku. "Jangan. Tunggu sampai taxinya datang. Jangan
tutup telepon ini
sampai taxi itu datang."

"Aku hanya ingin pulang ke rumah, mama."

"Mama tahu. Tapi, tunggulah sampai taxi datang.
Lakukan itu untuk mamamu."

Lalu aku mendengar senyap di sana. Ketika aku tak
mendengar suaranya, aku
gigit bibir dan memejamkan mata. Bagaimana pun aku
harus mencegahnya
mengemudikan mobil itu sendiri.

"Nah, itu taxinya datang."

Lalu aku dengar suara taxi berderum di sana. Hatiku
terasa lega.

"Aku pulang ma," katanya untuk terakhir kali. Lalu ia
tutup telepon itu.
Air mata meleleh dari mataku. Aku berjalan keluar
menuju kamar anak gadisku
yang berusia 16 tahun. Suamiku menyusul dan memelukku
dari belakang.
Dagunya ditaruh di atas kepalaku.

Aku menghapus airmata dari pipiku. "Kita harus belajar
mendengarkan,"
kataku pada suamiku.

Ia terdiam sejenak, dan bertanya, "Kau pikir, apakah
gadis itu sadar kalau
ia telah menelepon nomor yang salah?"

Aku melihat gadisku sedang tertidur nyenyak. Aku
berkata pada suamiku,
"Mungkin itu tadi bukan nomor yang salah."

"Ma? Pa? Apa yang terjadi?," terdengar gadisku
menggeliat dari balik
selimutnya.

Aku mendekati gadisku yang kini terduduk dalam gelap,
"Kami baru saja
belajar," jawabku.

"Belajar apa?" tanyanya. Lalu ia kembali berbaring dan
matanya terpejam
lagi.

"Mendengarkan," bisikku sambil mengusap pipinya.

Sumber: Unknown (Tidak Diketahui)